Selasa, 10 Agustus 2010

Panen 30 Hari Lebih Cepat



Ayam Kampung: Panen 30 Hari Lebih Cepat
Monday, 01 March 2010

Lima tahun lalu Darussalam sibuk keluar-masuk desa, mencari pasokan ayam kampung. Kini rutinitasnya berubah. Setiap hari ia rajin mengecek kesehatan 2.500 day old chicken (DOC) ayam kampung yang dipelihara di kandang panggung seluas 200 m2. Lima puluh hari kemudian - lebih cepat 30 hari daripada kelaziman - pria 48 tahun itu memanen ayam kampung berbobot 0,7 kg/ekor yang memberinya omzet Rp53,9-juta per bulan.

Darussalam tidak serempak memanen ayam kampung yang dipelihara intensif itu. Panen pertama dilakukan pada hari ke-40 masa pemeliharaan. Pada saat itu sekitar 500-an Gallus gallus dengan bobot 0,7 kg/ekor. Itulah bobot yang diminta rumah makan langganannya. Seluruhnya ayam kampung habis dipanen pada hari ke-50. Dengan tingkat kematian cukup rendah sekitar 2%, transmigran asal Kabupaten Karawang, Jawa Barat, itu total memanen 2.450 ayam dari 2.500 DOC yang dibesarkan.

Peternak di Desa Makarti, Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kutaikartanegara, Kalimantan Timur, itu membesarkan ayam kampung di kandang panggung berukuran 50 m x 4 m, beratap asbes dan berdinding kombinasi dari papan kayu setinggi 60 cm serta kawat ram. Untuk mencapai bobot 0,7 kg/ekor, ayam-ayam itu diberi pakan konsentrat sebanyak 1,2 kg/ekor (Rp6.000/kg). Pemberian pakan pabrik ini mempercepat masa panen dari masa pemeliharaan 80 hari. Biaya produksi hingga panen mencapai Rp16.000/ekor. Nilai itu termasuk pembelian DOC dari Pulau Jawa seharga Rp7.000 - Rp8.000/ekor.

Citarasa unggul

Ayam kampung itu mudah dijual karena Darussalam mempunyai pelanggan tetap. Para pelanggannya itu bersedia membeli seharga Rp22.000/ekor. Total dari 2.450 ayam, peraih juara ke-1 Peternak Ayam Kampung Tingkat Provinsi Kalimantan Timur pada 2009 itu mendulang pendapatan Rp53,9-juta. Setelah dipotong ongkos produksi dan lain-lain, Darussalam meraup laba bersih Rp14,7-juta per bulan. Saat ini Darussalam tengah mengelola 15.000 ayam kampung pedaging bersama 13 peternak lain yang tergabung di dalam kelompok pembudidaya ayam kampung pedaging Makarti Jaya.

Nun di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Irfan Saleh yang jauh lebih muda usianya ketimbang Darussalam juga menekuni ternak ayam kampung pedaging. Sejak medio 2008, pelajar sekolah menengah atas itu setiap 60 hari memanen 120 ayam kampung sentul. Ayam-ayam itu dipelihara di 3 kandang masing-masing berukuran 1,25 m x 1 m yang letaknya di samping rumah. Saat dikunjungi Trubus unggas itu telah mencapai bobot jual rata-rata 0,8 - 0,9 kg/ekor. Dengan harga di tingkat peternak Rp23.000 - Rp24.000/ekor, Ifan - panggilan akrab - meraup keuntungan Rp7.000/ekor. “Untungnya ditabung buat biaya kuliah masuk Fakultas Peternakan,” ujar Ifan.

Pamor ayam kampung pedaging tengah mencorong. Citarasa daging lezat dan gurih yang jauh mengungguli ayam ras membuatnya diminati masyarakat. Banyak rumah makan dan restoran menyajikan menu berbahan baku ayam kampung. Entah itu dimasak menjadi ayam goreng, ayam sayur, atau aneka olahan daging ayam lainnya. Rumah makan atau restoran memang harus menyajikan menu ayam kampung karena 95% penggemar ayam kampung masyarakat menengah atas.

Di Cirebon, Jawa Barat, misalnya, ada H Sodik, pemilik restoran ayam kampung Bahagia. Setiap hari rumah makan yang sering didatangi pejabat setempat itu menggoreng 250 ekor yang dipasok pengepul dari Brebes (Jawa Tengah) hingga Pabuaran, Jatibarang, dan Celancang - semua di sekitar Cirebon. Kebutuhan ayam kampung berbobot 0,6 - 0,7 kg/ekor yang dibeli seharga Rp16.000 - Rp17.000/ekor itu melonjak hingga 30% begitu memasuki masa liburan dan akhir pekan. “Ayam kampung disukai karena dagingnya gurih dan kenyal,” tutur H Sodik.

Meski sangat disukai kontinuitas pasokan hingga saat ini selalu sulit dipenuhi. Harap mafhum, usaha berternak ayam kampung secara intensif belum lazim dilakukan. “Saat pertama kali berternak di kandang pada 2003 banyak orang mentertawakan saya,” kenang Ade M Zulkarnain, peternak di Desa Tenjolaya, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Selama ini ayam kampung memang biasanya diumbar. Kalaupun ada yang khusus membesarkan, populasi yang dipelihara sedikit, paling-paling puluhan ekor.

Menurut Ade potensi bisnis ayam kampung sangat menjanjikan. Ketua Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) itu pernah mensurvei langsung ke beberapa pusat perdagangan ayam kampung di Jatinegara, Pulogadung, dan Pademangan - semua di Jakarta. “Permintaaan dan pasokan tidak seimbang,” katanya. Pasar semakin terkuak lebar manakala ayam kampung kini sudah menembus pasar swalayan di berbagai kota besar di Pulau Jawa. Citra ayam kampung yang dahulu hanya bisa diperoleh di pasar tradisional perlahan mulai luntur.

Secara nasional konsumsi daging unggas masyarakat Indonesia mencapai 7 kg/kapita/tahun - lebih rendah bila dibandingkan dengan konsumsi Malaysia (36,7 kg), Thailand (13,5 kg), dan Filipina (7,6 kg). Secara nasional kebutuhan ayam lokal cukup besar. Hingga 2009 dari 33 provinsi total diproduksi 282.692 ton daging. Jumlah itu menurun dibandingkan 2005 (301.427 ton) dan 2006 (341.254 ton). Road map Dirjen Peternakan Departemen Pertanian pada 2008 menyebutkan Indonesia masih kekurangan produksi daging ayam lokal hingga 22-juta ekor.

Menjamur

Wajar dengan kebutuhan yang terus meningkat usaha beternak ayam kampung pedaging merebak di banyak tempat. Tak hanya terbatas di Pulau Jawa, penyebarannya kini sudah sampai Bangka-Belitung, Kalimantan, Jambi, hingga Riau. Apalagi pemerintah juga melindungi peternak ayam kampung dengan peraturan Nomor 111/2007 yang menyatakan pengusahaan ayam lokal tidak boleh dilakukan oleh perusahaan besar seperti yang terjadi pada ayam ras.

Ng Yok Set di Bangka-Belitung memulai usaha ternak ayam sejak November 2009. Awalnya ia melihat pergerakan harga ayam kampung begitu menginjak imlek melesat hingga menembus Rp50.000 - Rp60.000/kg; normal Rp32.000 - Rp35.000/kg. Lonjakan nilai itu cukup berdampak besar pada Yok yang memiliki 2 rumah makan dengan menu utama ayam kampung. “Untuk satu rumah makan butuh 600 ekor per bulan,” kata Yok yang total membutuhkan 1.200 ekor/bulan itu. Kini Yok membesarkan 8.000 DOC per bulan yang dibeli dari penyedia bibit di Cianjur, Jawa Barat.

Sejak rutin memasok ke beberapa pasar swalayan di Jabodetabek, Naryanto dari Siu Eng Farm perlu menyediakan 8.000 ekor/minggu dari kebutuhan setahun lalu yang mencapai 5.000 ekor/minggu. “Yang diminta pasar swalayan ayam kampung berbobot 7 ons/ekor dan berkaki hitam, sebagai tanda ia ayam kampung,” kata Anto yang saat ini mengelola sekitar 20.000 ayam kampung itu.

Menurut Janni Maulana, pengepul di Bandung, meski saat ini banyak bermunculan peternak ayam kampung pedaging, tak serta-merta pasokan mudah diperoleh. “Saya harus berburu sampai ke Sukabumi, Banten, dan Cianjur untuk bisa mendapatkan 500 - 700 ekor/hari untuk rumah makan dan restoran langganan,” kata Janni yang membeli Rp30.000 - Rp32.000/ekor untuk dijual kembali Rp35.000/ekor.

Tri Haryani menuturkan kehadiran peternak ayam kampung memberikan nilai tambah besar. “Pasokan lebih terjamin ketimbang mengandalkan ayam kampung umbaran,” kata pengepul besar di Pasar Terban, Yogyakarta, itu. Tri berkaca dari pengalaman selama bertahun-tahun kesulitan memenuhi kebutuhan yang mencapai 1.000 ekor per hari untuk pasar Jakarta.

Prospek

Beternak ayam kampung pedaging tidak lepas dari hambatan. Masalah terbesar memang terbatasnya ketersediaan DOC. Darussalam, misalnya, akan berhenti berproduksi selama 2 bulan menjelang Lebaran. “Ini karena pasokan DOC dari Jawa kosong,” katanya. Untuk menyiasatinya Darussalam mencoba melakukan penangkaran, tetapi sejauh ini hasil masih jauh dari memuaskan.

Menurut Ir Endang Wahyudin, kepala Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Unggas (BPTU) di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, meski balainya sudah berusaha menaikkan kapasitas produksi sebesar 20% dari semula 3.000 - 4.000 DOC per pekan, tetapi itu belum mencukupi permintaan yang mencapai puluhan ribu DOC. Pantas pula Hidayat dari Jimmy Farm, penyedia DOC ayam kampung di Cianjur, Jawa Barat, menerapkan sistem inden. “Pemesan baru terlayani 2 minggu kemudian,” kata Hidayat yang memproduksi 15.000 - 20.000 DOC per minggu itu.

Soal penyakit? Asalkan rajin merawat kebersihan kandang dan kelembapan, penyakit seperti tetelo, dapat di atasi. Yang patut diwaspadai adalah munculnya kanibalisme saat ayam berumur di atas 30 hari. Mortalitas akibat kejadian itu tak sedikit. Menurut Sumargianto, peternak di Sleman, Yogyakarta, dari 300 ekor bisa 10 - 15 mati. “Untuk mengatasinya cahaya dikurangi dengan menutup jendela kawat memakai spanduk,” kata Sumargianto yang mengusahakan 300 ayam kampung.

Bila kerikil-kerikil itu terlewati, prospek pasar ayam kampung pedaging cukup menjanjikan. Pada sambutannya di pencanangan Gerakan Nasional Peternak Sehat, Ternak Sehat di Desa Tenjolaya, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, pada 5 Februari 2010 lalu, Menteri Pertanian Ir Suswono MMA dan Menteri Kesehatan Dr dr Endang Rahayu Sedyaningsih MPH, sepakat pembangunan peternakan unggas lokal perlu memperhatikan kesehatan lingkungan dan kesehatan ternak sehingga menguntungkan bagi pelaku usaha ternak unggas lokal itu.

Ke depan kebutuhan daging ayam kampung terus membubung. Rasa yakin itu dipegang teguh Darussalam yang kini tak perlu lagi berkeliling dari desa ke desa untuk mencari ayam kampung. (Dian Adijaya S/Peliput: Faiz Yajri, Lastioro Anmi T, Sardi Duryatmo, dan Tri Susanti).
(Sumber : Trubus)

Analisis Usaha Budidaya


Analisis Usaha Budidaya

Perkiraan analisis budidaya Ayam Kampung Super adalah sebagai berikut:
Per 500 ekor
1) Modal tetap
a. Sewa tanah seluas 200 m2/tahun Rp. 200.000,-
b. Kandang :bahan bambu & atap Rp. 500.000,-
c. Tempat minum @ Rp 30.000,- X 10 = Rp. 300.000,-
d. Tempat Pakan @ Rp 25.000,- X 10 = Rp. 250.000,-
_________________+
Jumlah Rp. 1.250.000,-

2. Biaya Penyusutan
a. Tanah Rp. 60.000,-
b. Kandang Rp. 150.000,-
d. Peralatan
- Tempat Minum Rp. 50.000,-
- Tempat Pakan Rp. 50.000,-
________________+
Jumlah Rp. 310.000,-

3. Modal Kerja
a. DOC 500ekor, @ Rp. 4.500,00 = Rp. 2.250.000,-
b. Pakan @ Konsentrat Rp 5.000,-/kg
1 Ton Rp. 5.000.000,-
c. Vitamin Rp. 60.000,-
d. Tenaga Kerja 1 orang
Rp. 250.000,-/bulan X 2 bulan Rp. 500.000,-
e. Air 5000 liter Rp. 100.000,-
f. Listrik perbulan @Rp 50.000,- Rp 100.000,-
________________+
Jumlah Rp. 8.010.000,-

4. Jumlah modal yang dibutuhkan :
a. Modal tetap Rp. 1.250.000,-
b. Modal kerja Rp. 8.010.000,-
================+
Jumlah Rp. 9.260.000,-

5. Produksi/2 bulan
Selama 2 bulan 500Kg,@ Rp.23.000,-/KgRp 11.500.000,-

6. Biaya produksi/4 bulan
a. Biaya penyusutan Rp. 310.000,-
b. Modal kerja Rp. 8.010.000,-
________________+
Jumlah Rp. 8.320.000,-

7. Keuntungan/2 bulan
a. Produksi/2 bulan Rp.11.500.000,-
b. Biaya produksi/2 bulan Rp. 8.320.000,-

Jumlah Rp. 3.180.000,-

8. Pembagian Keuntungan 60 : 40
40% X 3.180.000,- Rp. 1.272.000 / 2 bulan =
Rp 636.000,- perbulan

9. Investasi Per Rp 8.000.000,- akan mendapatkan bagi hasil 7,5% per bulan ( +/- Rp 600.000,- )